by: Frans Rezeki Ramadansyah Simatupang
Sewaktu masih kecil,
aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku
mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap
pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi
buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun.
Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah
dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring
bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan
semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku
selalu bersungut-sungut.
Kini, setelah dewasa
aku mengerti kenapa dulu engkau melakukan itu semua. Karena aku juga
akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang
tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima
kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan
ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak,
ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia
menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di
seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya dirumah ,
dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa
jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku
sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama
teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit,
ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku
menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutanrumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja,
aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya
yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi.
Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter
didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal
menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan
penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan.
Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku
terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang
belanja bulanannya.
Padahal
juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih
sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh,
membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA,
ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin
merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan
seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga
tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung
antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala
tuntutan keperluan kampus lainnya.
Usai wisuda sarjana,
baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak
mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih
gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di
setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah
kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku,
ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan
hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang
senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum
suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di
kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah
tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku
sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga
tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu.
Sungguh,
kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman
uangku setiap bulan untuknya tak lebih berarti dibanding kehadiranku
untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta
dan kasihmu kepadaku.
"Ya
Allah ampunilah aku dan kedua Orangtuaku, dan sayangilah mereka
sebagaimana meeka menyayangi aku sewaktu aku masih anak anak"